Selasa, 12 Oktober 2010

MEMBANGUN TOLERANSI DENGAN “MAAF”



Tak cukup waktu seribu tahun untuk memahami wanita? Setidaknya, itulah ungkapan para pakar kejiwaan barat seperti Freud, misalnya. Tapi terkadang kata maaf, cukup bagi wanita untuk mengubah diri dari sosok “kucing yang jinak”. Itulah uniknya wanita, dan demikianlah uniknya manusia.

Tanpa toleransi, tak pernah niscaya. Kita harus membangun toleransi dalam jiwa kita untuk berdamai dengan kedukaan, bersapa akrab dengan kepedihan, berbaur nyaman dengan kegembiraan, dan tak menjadi takabur  segala kelebihan.
Bila itu ada pada jiwa kita, demikian juga terhadap orang lain. Bayangkanlah kepenatan hidup ketika setiap kemarahan orang menjadi bencana bagi kita, kebobrokan moral orang menjadi kiamat dalam hidup kita. Ketika kepasrahan memaksa orang berdamai dengan bencana, maka kesadaran manusiawi seharusnya memaksa kita bertoleransi terhadap segala kekurangan orang lain. Itulah makna sejati dari sebuah kata singkat yang mukjizat…: “MAAF”.

Maka Allah berfirman:

“Maka maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka, sesungguhya Allah menyukai orang-orang berbuat baik.” (al-Maidah : 13)
“Dan sesungguhnya saat (kiamat) itu pasti akan datang, maka maafkanlah (mereka) dengan cara yang baik.” (al-Hijr : 85)
“Maka ma’afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguh-Nya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (al-Baqarah : 109)

Allah bahkan menyandingkan kata “maaf” dengan peringatan terhadap kiamat. Betapa kata maaf erat sekali hubungannya dengan perjalanan seorang muslim menuju akhirat. Artinya, tanpa menjadi pribadi yang pemaaf, seorang muslim tak akan dapat memasuki Surga yang begitu luhur dan mulia. Surga adalah tempat bagi kaum  pemaaf.

Aisyah – rodhiyallohu ‘anha — menceritakan, “Rasulullah — shollallohu ‘alaihi wa sallam — bukanlah orang yang kasar dan suka berkata keji, bukan orang yang suka berteriak-teriak di pasar-pasar, tidak suka membalas kejahatan, namun justru suka memaafkan dan toleran.” [1]

Bila rumah tangga bertabur maaf, ia akan tumbuh dengan aura toleransi yang memberi kenikmatan pada setiap anggotanya. Istri akan sangat berbahagia di sisi suami yang pemaaf dan mudah bertoleransi. Begitu pula sebaliknya. Anak-anak akan hidup dalam damai, karena segala kekurangan mereka “dikoreksi”, tanpa “diadili”. Bila pun harus diadili, mereka tak akan diberi sanksi, kecuali sebatas sanksi itu berfungsi baik membangun kebaikan pada diri mereka.

Bila budaya toleransi dibangun baik dalam hidup, maka udara kehidupan akan terasa sejuk, dan nilai-nilai kebajikan akan tumbuh subur laksana jamur di musim  hujan.

Apa itu berarti membiarkan kemungkaran berseliweran (lalu lalang) dalam kehidupan rumah tangga tanpa dicegah dan dikoreksi? Saya yakin pembaca tahu, bahwa bukan itu maksudnya. Karena seorang muslim lebih wajib bertoleransi dengan keridhaan Allah, ketimbang keridhaan umat manusia, sepenuh dunia sekali pun.

Antara Memberi dan Meminta Maaf

Syekh Ibrahim bin al-Hamd, saat menjelaskan kewajiban suami memenuhi kebutuhan istri menegaskan,
“Bukan berarti suami dapat terus-menerus melalaikan hak-hak istrinya. Sebaliknya, ia harus memperhatikannya dan mohon maaf jika ia lalai dalam memenuhi haknya serta mengingatkan pahala yang akan ia terima atas kesabarannya.” [2]

Menjalankan kewajiban, lalu meminta maaf bila melakukan kekurangan. Itu intinya. Seperti memberi maaf, meminta maaf pun butuh dibiasakan. Toleransi dengan maaf adalah perpaduan antara bertoleransi dengan mudah memberi maaf, dan bertoleransi untuk mudah meminta maaf. Keduanya harus seimbang. Tak cukup seseorang banyak memberi maaf kepada siapa pun tanpa ia mudah meminta maaf atas segala kekeliruannya, atau atas segala kemungkinan di mana ia bisa saja keliru tanpa ia menyadarinya.

Kita akan  menjadi pribadi yang didekati orang, bila kita bertabur maaf. Orang senang berdekatan dengan kita. Karena kemarahan kita, tak membuat kita “menyegel” derajat orang di depan kita. Karena emosi kita, tak membuat kita merasa patut berlaku zhalim pada siapa pun. Bahkan kezhaliman orang terhadap kita pun tak lantas membuat kita layak melakukan kezhaliman serupa terhadapnya. Berbahagialah orang yang hidup dekat dan berinteraksi rapat dengan orang yang punya segudang maaf di hatinya.

Tapi, akan buyar segala penghormatan manusia terhadap orang dengan kekayaan maafnya, bila orang itu selalu merasa pantang memohon maaf bahkan atas kesalahan fatalnya sekali pun terhadap orang lain. Ia hanya pandai memberi, tanpa lihai menawarkan diri. Mudah memberi maaf, tapi sulit meminta maaf.

Cobalah amati firman Allah berikut,
“Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik…”
Di akhir ayat, Allah menegaskan,
“Barangsiapa yang melampui batas sesudah itu maka baginya siksa yang sangat pedih.” (al-Baqarah 178)

Meminta maaf dalam Islam disebut tahillah. Proses sederhananya sebenarnya ada dalam konsep tobat, bila terkait dengan hak orang lain.

1. Menyesali perbuatan dosa yang dilakukan.
2. Meninggalkan dosa tersebut.
3. Bertekad tak mengulanginya lagi
4. Mengembalikan hak orang lain, atau meminta dihalalkan atas kesalahannya.

Bila seseorang banyak menggunjing orang lain misalnya, maka taubatnya hanya diterima bila ia menyesali kenapa ia sampai menggunjing sahabatnya itu. Lalu ia tinggalkan kebiasaan menggunjingnya. Setelah itu tanamkan tekad tak akan mengulanginya. Baru sesudah itu, minfa maaf.

Haruskan maaf itu dilafalkan di hadapan orang yang kepadanya kita meminta dimaafkan atau dihalalkan kekeliruan kita? Ada dua kemungkinan.

Pertama, itu wajib bila diyakini meminta maaf tak menimbulkan kekisruhan dan kemudaratan yang lebih besar. Contohnya, tak dikhawatirkan orang itu malah mengamuk, memukul, atau memutuskan hubungan persaudaraan keislaman misalnya.

Kedua, tak perlu bahkan tak boleh diucapkan bila kemungkinan mudharat dan bahaya lebih besar itu terlihat nyata. Maka, permohonan maaf itu dapat diganti dengan memperbaiki sikap kita di hadapan orang tersebut, memberinya hadiah, membantu dia keluar dari kesulitan hidup, dan banyak-banyak membicarakan kebaikan orang tersebut di hadapan siapa saja. Karakter yang seolah-olah sudah dibunuhnya selama ini,  hendaknya dihidupkan kembali secara lebih nyata. Itu singkatnya.

Kenapa ini perlu saya tegaskan? Karena ada muslim yang berpandangan bahwa Islam mengajarkan kita memberi maaf, tapi tidak untuk meminta maaf. Itu keliru. Karena meminta dan memberi maaf, masing-masing memiliki keutamaan.

Bahkan orang tak layak disebut utama, bila ia hanya bisa memberi maaf tanpa bisa memintanya, atau selalu meminta maaf tapi begitu payah dalam memberi maaf. Yang terakhir ini bahkan lebih parah lagi. Karena orang yang banyak meminta maaf tanpa mudah memberi maaf adalah orang egois dalam  makna yang paling menyebalkan.

Sebagai penutup, harus pula kita ingatkan bahwa segala sesuatu tidaklah boleh berlebihan. Begitu juga meminta atau memberi maaf. Tak boleh memberi maaf hingga pada batas melalaikan amar ma’ruf nahi munkar. Tak apik seseorang terlalu banyak meminta maaf sampai-sampai ungkapan itu hanya menjadi pemoles bibir saja. Banyak meminta maaf, lalu berbuat kekeliruan yang sama lebih banyak lagi.

Orang seperti itu tak butuh diingatkan untuk banyak mengumbar permintaan maaf, tapi cukup diberi penyadaran bahwa meminta maaf pun ada konsekuensinya. Jangan cuma minta maaf, tapi yang penting kesalahan itu jangan diulangi lagi! (***)

Posted by admin in fikih keluarga

0 komentar:

Template by : Pesantren Facebook Inspiratif : kendhin x-template.blogspot.com