Minggu, 03 April 2011

Apakah Umat Islam Wajib BerSyahadat Lagi?

Baiat Dan Syahadatain” ketegori Muslim

Pertanyaan
Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Ustadz.. Saya mau bertanya tentang syahadatain, bahwa ada yang menyebutkan tidak masuk golongan muslim yang belum melaksanakan syahadatain, syahadatain di sini artinya bukan dalam ritual shalat namun dalam artian baiat,benarkah? dan apa dalilnya, kalau tidak begitu tolong disebutkan juga dalilnya2. Jika umat muslim wajib berbaiat, untuk zaman sekarang ini kita harus berbaiat kepada siapa?

Sebelum dan sesudahnya saya ucapkan jazakallahu khairan katsiro
WAssalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh
Afwa

Jawaban
Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh,

Berbai’at dan bersyahadat adalah dua hal yang berbeda. Bahkan anak kecil yang masih duduk di bangku madrasah ibtidaiyah pun mudah membedakannya. Syahadat merupakan salah satu rukun Islam, sedangkan bai’at tidak termasuk rukun Islam.

Namun ada segelintir orang yang ikut dalam aliran sesat telah berupaya menyelewengkan pengertian keduanya sehingga seolah-olah bai’at itu syahadat dan syahadat itu bai’at. Tentu saja pengertian salah seperti ini jelas punya tujuan tendensius dan merupakan bentuk kesesatan yang serius.

Padahal dari segi lafadznya saja sudah berbeda. Syahadat itu berbunyi asyhadu alla ilaaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah , sedangkan bai’at itu berbunyi ubayi’ukum ‘alas sam’i wath-tha’ah fi tha’atillai wa rasulihi .

Syahadat itu adalah ikrar tentang masalah tuhan dan kenabian, di mana seorang muslim menyatakan tidak ada tuhan yang patut disembah kecuali Allah, sekaligus ikrar bahwa Muhammad SAW adalah utusan Allah. Sedangkan ba’iat adalah ikrar untuk mengangkat seseorang menjadi pemimpin dan pernyataan siap untuk mentaatinya.

Sehingga jelaslah bahwa syahadat itu bukan bai’at dan bai’at itu bukan syahadat. Syahadat itu sebagai ikrar dari seorang non muslim untuk masuk Islam, sedangkan bai’at itu adalah sumpah atau pengangkatan seseorang untuk dijadikan pemimpin.

Orang kafir yang tidak mengucapkan syahadat berarti dia belum masuk Islam. Statusnya adalah kafir karena memang aslinya adalah orang kafir. Adapun orang muslim, selain secara nyata dia sudah menunjukkan dirinya sebagai muslim, secara lafadz pun sudah pasti dia melakukan syahadat berkali-kali dalam sehari. Dan pengakuan sejak awal bahwa dia adalah seorang muslim sudah cukup untuk dikatakan bahwa dia memang muslim, sehingga seorang muslim sama sekali tidak memerlukan syahadat ulang. Dia adalah muslim karena sejak awal pun memang sudah muslim.

Maka sungguh salah dan sesat kalau ada pendapat yang mengatakan bahwa seorang yang sudah muslim harus bersyahadat ulang, kalau tidak maka dia adalah orang kafir. Pendapat seperti ini tidak akan lahir dari mulut seorang yang mengerti hukum aqidah, kecuali dari kelompok sesat yang berpaham takfir. Yaitu aliran sesat yang mudah mengkafirkan orang lain. Bahkan fatalnya paham sesat ini adalah berangkat dari asumsi bahwa semua orang di dunia ini pada dasarnya kafir, kecuali yang mau setia taqlid buta pada kelompok sesat itu.

Padahal dalam ilmu aqidah yang diajarkan oleh Rasulullah SAW, setiap orang itu lahir dalam keadaan muslim. Barulah kemudian kedua orang tuanya yang akan mengajaknya kepada kekafiran. Mungkin dijadikan yahudi, nasrani atau majusi. Kalau mereka suatu saat mau masuk Islam, haruslah membuat pernyataan/ ikrar yang disebut dengan syahadat. Namun bila seorang bayi lahir dari kedua orang tua yang muslim dan tumbuh dalam pendidikan Islam, sudah secara otomatis dia menjadi muslim. Dan sama sekali tidak perlu bersyahadat ulang.

Dan kafirnya seorang muslim itu harus melewati sebuah proses yang bernama murtad . Namun selama seorang muslim tidak melakukan hal-hal yang termasuk dalam kategori kemurtadan yang disahkan oleh pengadilan syariah, maka dia adalah muslim 100%.

Para shahabat Nabi SAW dahulu awalnya pun masih kafir. Lalu mereka masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Sejak awal mula turunnya wahyu, sudah banyak shahabat yang masuk Islam. Hingga menjelang hijrah ke Madinah baru ada bai’at. Ini menunjukkan bahwa syahadat itu bukan bai’at dan bai’at itu bukan syahadat. Di dalam sirah nabawiyah, keduanya dipisahkan oleh jarak waktu hampir 10 tahun. Dan para shahabat nabi SAW yang masuk Islam di awal mula turun wahyu tetap dianggap muslim, meski mereka tidak ikut berba’ait.

Perlu diketahui bahwa bai’at di dalam sirah nabawiyah ada beberapa kali. Yang awal pertama terjadi adalah bai’at Aqabah I dan bai’at Aqabah II. Dua-duanya hanya untuk para anshar dari Yatsrib . Adapun para shahabat yang lainnya tidak ikut berbai’at. Kalau dikatakan bahwa yang tidak bai’at itu kafir, seharusnya Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali itu kafir, lantaran tidak ikut bai’at.

Jadi pemahaman seperti yang Anda kemukakan itu jelas sekali salahnya, bahkan bertentangan dengan realita sejarah di masa Nabi SAW, juga bertentangan dengan manhaj salafushalih, serta bertentangan dengan ilmu aqidah dan syariah. Tidaklah ada orang yang mau dicocok hidungnya dengan doktrin sesat seperti ini kecuali orang-orang yang lemah iman, kurang ilmu dan jahil terhadap agamanya sendiri.

Kewajiban Berbai’at

Kalau umat Islam sedunia bisa menyatukan aqidah, fikrah dan manhaj hingga sampai ke satu gerakan, insya Allah saat itulah umat Islam akan punya pemimpin. Dan pada saat itulah umat Islam dengan suka rela menyatakan ketaatan kepada pemimpinnya itu dengan sebuah ritual bai’at. Pemimpin itu secara aklamasi diangkat oleh 1,5 milyar umat Islam sedunia untuk menjadi khalifah kepemimpinan Rasulullah SAW.

Kalau sekarang ini, di mana wajah umat Islam masih centang perenang, kusut tidak karuan, saling ejek, saling caci, saling tonjok bahkan saling adu jotos sesama mereka, khilfah yang diidamkan itu rasanya masih jauh dari kenyataan. Jelas saat ini kita tidak punya satu orang yang bisa dibai’at secara international. Kalau pun sekarang ini ada yang dibai’at, maka bukan bai’at untuk menjadi pemimpin seluruh umat , melainkan pemimpin lokal kecil-kecilan saja, mungkin setingkat RT atau RT. Atau setingkat sebuah ormas, jamaah kecil-kecilan atau jamaah pengajian yasinan dan sebagainya. Dan sama sekali bukan representasi pemimpin dari seluruh umat Islam sedunia.

Hukum membai’atnya suka-suka saja. Kalau rasanya kita setuju untuk mengangkatnya menjadi pemimpin untuk lokal tertentu, silahkan saja dibai’at. Tapi jangan sampai ada keyakian bahwa siapa yang tidak ikut membai’atnya, lantas menjadi kafir. Ini adalah sebuah penyimpangan paham aqidah yang sesat dan menyesatkan.

Maka hukum bai’at berbeda tergantung orang yang melaksanakannya. Adapun ahlu al-halli wa al-‘aqdi, maka mereka wajib berbai’at terhadap imam yang telah mereka pilih, jika syarat-syarat keimaman telah terpenuhi pada imam terpilih tersebut.

Adapun masyarakat umum, pada asalnya setiap orang wajib melakukan bai’at terhadap imam berdasar bai’at ahlu al-halli wal ‘aqdi terhadap imam tersebut. Karena Rasulullah SAW bersabda:

“Barang siapa yang mati dan tidak ada ikatan bai’at di pundaknya maka ia pasti mati seperti mati di jaman jahiliyah” 

Namum begitu, Fuqoha Malikiah berpendapat, masyarakat umum tidak perlu melakukan bai’at. Tetapi cukup bagi mereka meyakini bahwa mereka di bawah perintah imam yang dibai’at dan mereka diharuskan untuk taat terhadap imam tersebut.

Sedangkan orang yang terpilih untuk menjadi imam, ia wajib menerima bai’at tersebut jika memang terpilih dan tidak ada orang yang memenuhi persyaratan selain dirinya. Akan tetapi jika yang memenuhi persyaratan jumlahnya lebih dari satu maka kewajiban tersebut berubah menjadi fardu kifayah.
Pengertian Keliru Tentang ‘Mati Jahiliyah’ Bila Tidak Berbai’at
Dalam kitab legendaris yang meurpakan kitab penjelasan shahih Bukhari, Fathul Baary, Ibnu Hajar memberikan komentar tentang pengertian “Miitatan Jahiliyyatan” bahwa yang dimaksud dengan kalimat tersebut aadalah sebagai berikut:

“Yang dimaksud dengan “mati Jahilyyah” dengan bacaan mim kasrah “Miitatan bukan Maitatan” adalah keadaan matinya seperti kematian di jaman Jahiliyyah dalam keadaan sesat tiada imam yang ditaati karena mereka tidak mengetahui hal itu. Dan bukan yang dimaksud itu ialah mati kafir tetapi mati dalam keadaan durhaka” .

Imam al-Qadhy ‘Iyadh berkata bahwa yang dimaksud dengan sabda Rasulullah SAW: “Barang siapa yang keluar dari ketaatan imam dan meninggalkan jama’ah maka ia mati miittan jahiliyyatan” adalah dengan mengkasrah mim “miitatan” yaitu seperti orang yang mati di jaman Jahiliyyah karena mereka ada dalam kesesatan dan tidak melaksanakan ketaatan kepada seorang imam pun” .

Wallahu a’lam bishshawab 
wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc

Sumber Baiat Dan Syahadatain : http://assunnah.or.id

Sabtu, 02 April 2011

Wanita Hebat Adalah Wanita Sholehah

Pertama, bertakwa Kepada Allah SWT dan bisa menjaga dirinya, anak-anaknya, serta harta suaminya. Dalam AlQur’an Allah Berfirman yang maksudnya,“Sebab itu, Maka wanita yang saleh ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara dir ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah Memelihara mereka.” (Q.S An Nisa’:34)

Kedua, ia memiliki sifat sabar. Ia bersikap tabah dalam menghadapi berbagai persoalan. Bahkan ia pandai menghibur suaminya yang sedang di rundung masalah. Bukannya malah merunyamkan suasana.

Ketiga, senantiasa menjaga shalat 5 waktu. Sebagaimana maklum shalat 5 waktu adalah tiang agama. Muslimah yang menjaga shalatnya adalah sosok muslimah yang sendi-sendi keimanannya kokoh. Ia akan kuat menghadapi berbagai terpaan cobaan dan musibah. Muslimah seperti inilah yang bisa menjadi faktor kunci sukses suaminya.

Keempat, menjaga auratnya dengan baik. Ia tak mau keluar rumah kecuali seizin suaminya. Andaikata keluar, ia menutupi aurat yang menjadi kehormatannya serta suaminya. Allah SWT berfirman yang maksudnya, ” Hai nabi. Katakanlah kepada isteri-isteri mu, anak-anak perempuammu dan isteri-isteri orang beriman “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk di kenal. Karera mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(Q.S Al Ahzab, 59)

Kelima, taat kepada suaminya, menghormatinya, mencintainya, menyayanginya. Selalu menampakkan wajah yang menyenangkannya. Selalu memberikan dukungan kepada suami baik dalam urusan pekerjaan atau ibadah. Tidak menghardik atau mengeluarkan kata-kata kotor kepadanya. Tidak membicarakan aib-aibnya kepada wanita lain. Tak pernah ada niatan untuk menyakitinya. Ia senantiasa menlakukan perbuatan yang membuat ridha suaminya. Rasul SAW bersabda, “Tatkala seorang muslimah melaksanakan shalat 5 waktu, menunaikan puasa wajib dan mematuhi suaminya, maka ia akan memasuki surga Tuhannya.”

Keenam, bisa mengasuh dan mendidik anak-anaknya dengan baik. Sebab mereka lebih dekat kepada anak-anak daripada suami yang lebih banyak keluar untuk bekerja. Seorang Muslimah Shalihah akan mengajarkan anak-anaknya membaca Al Qur’an, menanamkan rasa cinta kepada Nabi SAW beserta keluarganya. Mendampingi mereka melewati masa kanak-kanak dengan lembut dan penuh cinta, menjauhkan merekan dari akhlak tercela. Dan tak kalah pentingnya, mengajarkan mereka rasa hormat kepada ayahnya.

Ketujuh, mampu menasehati suami yang sedang lalai dari ibadah dengan cara yang santun dan bijak. Ia bisa mengambil hati suaminya sebelum mengingatkannya. Cara demikian lebih bisa di terima suami ketimbang cara-cara langsung yang akan memperburuk situasi.

Kedelapan, memiliki prinsip hidup yang kuat. Ia tak mudah terpengaruh gaya hidup non islami yang sekarang ini gencar di budayakan oleh media massa. Sebagai muslimah ia harus tetap berpegang teguh pada ajaran Islam baik dari segi berpakaian, berprilaku dan lainnya. Ia pantang meniru lifestyle wanita non muslim. Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa meniru gaya hidup suatu kaum, berarti ia termasuk golongan tersebut.”

Kesembilan, ia mampu menjaga penglihatannya dan kehormatannya. Ia tak mau memandang laki-laki selain suaminya. Kehormatannya di jaga mati-matian demi suaminya. Ia bersolek hanya untuk suaminya. Ini merupakan gambaran Bidadari Syurga. Allah SWT berfirman.. Yang artinya, “Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan kemaluannya. Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (Q.S An Nuur:31)

Kesepuluh, bersikap wara’. Ia tak mau mengkonsumsi makanan-makanan yang haram ataupun yang syubhat. Demikian pula ia menjaga suami dan anak-anaknya dari hal tersebut. Ia faham betul bahwa dari makanan yang baik dan halal akan lahir pula kepribadian-kepribadian yang baik. “Kuatnya agama adalah sikap wara’.” demikian sabda Nabi SAW.

Demikian sebagian karakteristik muslimah yang shalihah. Dengan karakteristik tersebut ia akan menampakkan kecantikan bathin yang akan abadi dan takkan lapuk oleh penuaan seperti halnya kecantikan jasmani.

Rasulullah SAW dalam sabdanya, “Dunia seluruhnya adalah perhiasan, dan perhiasan yang terindah adalah wanita yang shalihah.”

Wallahu A’laam..

Peran Suami Istri Untuk Sukses berRumah Tangga

Al-Usrah (keluarga) merupakan cikal-bakal masyarakat dan embrio generasi penerus. Artinya, masyararat dan generasi yang baik hanya akan terwujud bila setiap keluarga yang ada di dalamnya mengejewantahkan nilai dan tatanan kebaikan pada kesehariannya. Sebaik apa pun aturan dan sistem yang disiapkan pada suatu komunitas tanpa adanya bibit-bibit unggul yang disiapkan oleh madrasah keluarga, maka hanya akan menjadi barang mati dan tidak berarti sedikit pun. Sebaliknya, bila setiap madrasah keluarga mampu mendidik-ajarkan nilai dan budi pekerti luhur kepada peserta didiknya, maka mereka akan mampu merubah bahkan merombak keterbelakangan menjadi kemajuan, keburukan menjadi kebaikan dan kerendahan menjadi keluhuran.

Dan untuk mewujudkan keluarga yang berkemampuan mulia tersebut, tentu diperlukan keria sama solid yang saling mengisi dan melengkapi. Keduanya harus rela hati bersatu padu dan bahu membahu. Suami tidak akan mampu mewujudkannya tanpa peran serta isteri, demikian pula isteri, tanpa bantuan dan pertolongan suami.
Dinul Islam telah penuh dengan khazanah dan sejarah yang dapat dijadikan uswah hasanah di kancah kehidupan ini, tak terkecuali kehidupan keluarga. Setelah bulan suci Ramadhan yang penuh hikmah, di hadapan kita kembali disuguhkan bulan yang tidak kalah indahnya, yakni bulan-bulan haji. Berbicara tentang haji, ingatan kita tertuju kepada pendiri Baitullah, Nabi Ibrahim as. Dan sebagai keluarga muslim-mukmin sudah sepatutnya bila perjalanan keluarga Ibrahim as kita jadikan uswah dalam menata-rapikan tatanan kehidupan rumah tangga.
Mengelola Konflik
Kehidupan dunia bagaikan lautan, terkadang surut terkadang pasang. Bagikan siang dan malam, terkadang terang-benderang terkadang gelap-pekat. Itulah sunnatullah yang harus dihadapi dengan lapang dada dan husnudzdzon kepada-Nya. Pada hakikatnya semua problem amatlah berguna bagi orang yang memahaminya sebagai tantangan bukan sebagai halangan yang memutus-asakan. Seorang muslim-mukmin pasti memilih bersikap positive thinking ketika menghadapi suatu masalah dan menyediakan diri mencari celah dan memanfaatkannya sebaik mungkin.
Hal itu semata didasarkan pada keyakinannya bahwa sesudah kesulitan itu ada kemudahan (QS. Alam Nasyrah (94): 4 -5) dan boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui (QS. Al-Baqarah (2): 216). Dengan demikian seorang muslim-mukmin pasti menemukan jalan keluar dari berbagai problemnya, sebagaimana firman Allah: “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. ” (QS. Ath-Thalaaq (65): 2)
Setiap manusia dalam hidup ini pasti menghadapi masalah, tak terkecuali para nabi. Bahkan para nabi mendapatkan ujian terberat. Namun karena kedekatan dan husnudzdzonnya kepada Allah mereka mampu keluar darinya dengan baik nan cantik.
Nabi Ibrahim as dan ibunda Sarah ra dalam perjalanan rumah tangganya harus menghadapi kenyataan belum punya keturunan. Padahal umur keduanya sudah udzur. Menghadapi kenyataan seperti itu keduanya tidak larut didalamnya, tetapi bermusyawarah guna mencari jalan keluar terbaik. Dan akhirnya diperoleh permufakatan bahwa Ibunda Sarah memperkenankan Nabi Ibrahim as menikahi ibunda Hajar ra. Sesiap apa pun Ibunda Sarah ra, tetap saja dia harus bergelut dengan rasa cemburunya ketika mengetahui bahwa Ibunda Hajar telah hamil. Untuk membantu memadamkan kecemburuaannya, Nabi Ibrahim as menjauhkan jarak di antara keduanya dan atas perintah Allah, beliau menempatkan ibunda Hajar yang waktu itu sudah menimang bayi Ismail di padang Sahara yang jauh dari manusia dan hanya dibekali sedikit buah kurma dan air. Permasalahan tidak berhenti di sini, justeru sekarang yang harus mengahapi masalah adalah ibunda Hajar dengan bayi mungilnya. Namun lagi-lagi keluarga Nabi Ibrahim as mampu melewatinya. Dengan gigih dan tentu saja bersandarkan kepada Allah, mencari air tanpa mengenal lelah, berlari ke sana kemari, bolak-bail Shafa-Marwah hingga akhirnya menemukan sumber air yang kemudian terkenal dengan sumur Zam-Zam.
Inilah uswah dalam mengelola konflik yang membuahkan hasil sangat gemilang. Kisah ini nyata dan sepatutnya dijadikan kenyataan oleh setiap keluarga muslim dalam menghadapi berbagai masalah yang timbul dan senantiasa akan muncul di dalam kehidupan rumah tangganya, agar memperoleh dan meraih kesuksesan. Insya Allah.
Sabar, Berupaya Maksimal dan Betawakkal
Dalam hidup ini tidak ada hasil tanpa didahului dengan upaya dan usaha terlebih dahulu. Dan bahwasanya seorang tidak memperoleh selain apa yang di usahakannya (QS. An-Najm (53): 39). Namun sebaik muslim-mukmin yang yakin pasti memahami bahwa pada kenyataannya, hasil tidak sepenuhnya bisa diramalkan seratus persen. Karenanya, dalam Dinul Islam selain berupaya dan berusaha bekerja secara maksimal, seseorang juga meniatkannya untuk mencari ridha Allah Swt (ibadah). Allah-lah yang Mahamengetahui dan Mahakuasa mendatangkan hasil. Itulah yang diteladankan Ibunda Hajar ra. Dia menentukan prioritas dan upaya yang jelas, yaitu mencari air, bukan yang lain. Kemudian ia berlari-lari bolak-balik antara Shafa dan Marwah dalam upaya maksimalnya mendapatkan air. Namun pada akhirnya air itu diperoleh di dekat Ka’bah, bukan di Shafa atau Marwah.
Adalah maklum bahwa seharusnya yang menjadi prioritas ialah terimplemantasikannya ajaran-ajaran luhur dalam kehidupan rumah tanggah kita. Suami mewujudkannya dalam mencari dan menjalani pekerjaan yang halal. Bersabar dan berupaya maksimal di dalamnya. Dan tidak lupa senantiasa menambah keilmuwan diniahnya untuk menunjang taqarubnya kepada Allah.
Sementara itu sang isteri mewujudkannya dalam pengabdian tulusnya menjaga suasana rumah agar tetap terhiasi dengan aneka keindahan dan kedamaian yang tidak bertentangan dengan peraturan agama. Bersama-sama dengan sang suami menjaga dan mengarahkan putera-puterinya agar senantiasa berpedoman kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Jangan sampai mereka ikut-ikutan dengan polah tingkah para remaja yang terjerumus dalam propaganda budaya yang amoral. Mulai dari sikap, tingkah laku, cara berpakaian dan pergaulan mereka.
Marilah kita meyakini dan meyakinkan kepada keluarga bahwa kaum muslimin mempunyai dua pusaka (Al-Qur’an dan As-Sunnah) yang bila dikerjakan dengan sungguh-sungguh niscaya kebahagian akan kita genggam di tangan. Tidak saja di dunia tetapi juga di akhirat kelak. Jangan sampai putera-puteri kita tidak percaya diri dengan jaminan tersebut, sehingga mereka memilih mengikuti cara dan pandangan hidup orang-orang yang jauh dari sentuhan keimanan, yang diantaranya ialah berpakaian tidak sesuai dengan aturan Islam. Jika mau berbusana muslim pun mereka lebih memilih model yang dicontohkan oleh para selebriti dari pada model yang sesuai dengan jati diri dan dan citra diri yang islami. Bahkan kalangan yang dianggap mempunyai pengetahuan agama yang cukup pun (para remaja puteri yang belajar di pesantren dan lembaga pendidikan Islam), tak mau ketinggalan dalam hal ini. Seakan-akan mereka khawatir tergolong sebagai kaum yang ketinggalan jaman. Pergaulan bebas (takhlid) antara laki-laki dan perempuan sudah menjadi kebiasaan, bahkan menjadi kebanggaan. Anehnya ada sebagian dari para orang tua merasa bahagia bila anak-anak perempuannya pandai bergaul dengan teman laki-laki mereka. Dan merasa khawatir bila mereka terkesan malu dan tidak mempunyai keberanian untuk melakukan hal itu.
Akibatnya bisa kita saksikan, betapa banyak pemuda-pemudi (terutama mahasiswa dan mahasiswi) yang terjerumus pada perzinaan, bahkan tidak sedikit yang merekam perbuatan nista tersebut dengan kamera elektronik yang sekarang ini mudah diperoleh dan dipergunakan oleh siapa pun dan untuk apa pun. Mengerikan sekaligus menjijikkan, namun merupakan kenyataan.
Kenapa semua itu terjadi?. Wallahu A ‘lam. Tapi menurut hemat penulis, pada dasarnya yang mereka inginkan ialah mencari dan meraih kebahagiaan. Di sinilah semestinya tugas berat orang tua dalam artian yang khusus (bapak ibu) dan orang tua dalam artian yang lebih luas (ulama, pemimpin, cendekiawan, pendidik pengajar dan pengusaha). Para orang tua tersebut harus mengajarkan dan memberi teladan bahwa bagi orang yang beriman, bahwa kebahagiaan hanya dapat diraih dengan usaha maksimal disertai tawakkal dalam menjalani semua perintah Allah, menjauhi larangan-Nya dan sabar menghadapi segala bentuk godaan dan fitnah yang semakin marak akhir-akhir ini. Jujur saja, ambil salah satu contoh, dewasa ini kita sangat kesulitan mencari orang tua yang bisa dijadikan panutan. Sekarang ini kita sulit menentukan sipakah ulama yang benar-benar ulama. Yang sering kita jumpai ialah orang-orang yang hanya pandai bersilat lidah namun miskin amal (khuthoba) dan jarang sekali kita bertemu dengan orang-orang yang berilmu, mengamalkannya dan takut kepada Allah Swt (ulama).
Jadi, marilah kita tradisi-biasakan memberikan teladan bekeria keras, berusaha gigih dan berupaya maksimal untuk kemudian bertawakkal kepada Allah tentang hasil yang akan dicapai, niscaya Allah akan memberikan hasil yang terbaik kepada kita. Janganlah kita menjadi contoh yang buruk, yakni mendambakan kesuksesan besar tapi miskin usaha dan upaya dan lebih memilih jalan pintas daripada jalan lurus yang telah terbukti dapat membahagiakan semua orang, yaitu jalan Allah dan Rasul-Nya:
“Tidak, barang siapa menyerahkan seluruh dirinya kepada Allah, dan ia berbuat kebaikan, baginya pahala pada Tuhannya. Tiada kekhawatiran terhadap mereka dan tiada mereka berduka cita. ” (QS. Al-Baqarah (2): 112)
Berdoa
Salah satu amalan penting yang sering diabaikan oleh sebagian besar kaum muslimin dalam membina rumah tangga ialah berdoa. Sebagai orang yang beriman seharusnya meyakini bahwa doa adalah salah satu dari sekian faktor keberhasilan seseorang. Doa adalah sejajar dengan usaha, bahkan lebih utama. Bahkan Allah telah menyatakan bahwa salah satu satu sifat ibaadurrrahman (para hamba kekasih Allah) ialah orang yang istiqamah mendokan istri dan keluarganya, sebagaimana difirmankan-Nya: “Dan orang-orang yang berkata: “Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri yang kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah imam bagi orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al-Furqan (25): 74).
Karenanya, dalam rangka menciptakan suasana rumah tangga idaman sudah saatnya setiap kaum muslimin mentradisikan saling mendoakan keluarganya; suami mendoakan isteri, isteri mendokan suami, orang tua mendoakan anak dan tentu saja anak mendoakan orang tua. Doa merupakan pengakuan tulus akan kekurangan dan keterbatasan seorang hamba dan kesadarannya yang tinggi terhadap ke-Mahasempurnaan Allah ‘Azza wa Jalla. Sungguh sangatlah tidak patut jika kita sebagai makhluk yang lemah nan bodoh ini merasa mampu mengawasi, melindungi, mengarahkan dan menata keluarga dan enggan untuk memohon pertolongan kepada Dzat Yang Mahasempurna. Bukankah Khalilullah, Ibrahim as telah memberikan uswah dengan doa indahnya yang diabadikan dalam Al-Qur’an:
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim as berdoa: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekkah) negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak-cucuku dari menyembah berhala-herhala. Ya Tuhanku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan dari manusia, maka barangsiapa yang mengikutiku, sesungguhnya orang itu termasuk golonganku, dan barangsiapa yang mendurhakai aku, maka sesungguhnya Engkau, Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur. Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Mahamengetahui apa yang kami sembunyikan dan apa yang kami lahirkan; dan tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi Allah, baik yang ada di bumi maupun yang ada di langit. Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua (ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Mahamendengar (memperkenankan) doa. Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak-cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku. Ya Tuhan kami, beri ampunanlah aku dan kedua ibu bapaku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat).” (QS. Ibrahim (14): 35-41). Wallahu A ‘lam bishshowab.

Template by : Pesantren Facebook Inspiratif : kendhin x-template.blogspot.com